Jalan Pahlawan di kota Bandung adalah jalan yang unik dan menarik. Jalan ini terdiri dari 3 jalur menuju Taman Makam Pahlawan. Dari ujung persimpangan dengan jalan Surapati, kita bisa memandang lurus ke tugu di Taman Makan Pahlawan dengan memandang deretan pohon-pohon cemara yang berjejer rapih. Jika cuaca sedang bagus, kita bisa melihat pemandangan indah bukit-bukit di Bandung utara sebagai background dari tugu di makam tersebut.
Jalan ini terdiri dari 3 jalur dan cukup lebar. Bahkan jalur lambat di kedua sisinyapun cukup leluasa untuk dilalui dua mobil bersimpangan dari arah yang berlawanan. Faktanya, kita sering kesal kalau naik mobil melalui jalan utamanya (tengah). Mengapa? Angkot berhenti seenaknya di jalur tengah. Penumpang angkot juga direpotkan untuk berjalan jauh menyebrangi jalur lambat dan trotoar tengah yang lebar untuk sampai ke jalur utamanya (lihat foto, seorang ibu harus berjalan sampai ke trotoar jalur tengah untuk menanti angkot, bahkan harus melocati selokan kecil di tepi trotoar). Baik untuk naik maupun untuk turun angkot. Sementara itu, jalur lambat di kiri kanan, kosong tidak digunakan. Bahkan sudah menjadi tempat parkir yang nyaman dan tidak terganggu. Mari perhatikan foto-foto berikut.
Aneh bin ajaib! Ko, tidak pernah terpikirkan untuk menata segmen jalan ini. Menurut saya, jika angkot diharuskan melalui jalur lambat di kiri dan kanan, akan menguntungkan berbagai pihak. Penumpang angkot pun tidak perlu repot-repot ke jalur tengah. Jalur utama juga akan menjadi lancar karena tidak ada angkot. Jalur lambat juga tidak akan berkembang menjadi lahan parkir seenaknya yang nantinya jadi sulit menertibkannya. Yang pasti, untuk melakukan ini hampir tidak ada biaya yang harus dikeluarkan, cukup pasang beberapa rambu saja.
Salam,
Arry Akhmad Arman
keren ri,
tapi jalur kiri dan kanan itu rusak ga?
kalo ga rusak sih ga ada keberatan si angkot lewat sana kayaknya.
tinggal kasih petugas pengarah si angkot untuk lewat sana.
gue ikut baca nih, blok okey
yd
Kondisi jalan kiri kanan rasanya memang tidak dalam kondisi prima. Tapi terlepas dari ide saya itu baik atau tidak, semua jalan kan memang harus dipelihara agar layak digunakan. Jadi tentunya asumsi saya ide itu dijalankan, dan pemeliharaan jalan dijalur lambatnyapun dilakukan secara normal.
Dengan senang hati kalau mau ikut baca, membuat saya tambah semangat untuk menulis. Semoga bisa jadi masukan berharga untuk kemajuan kota Bandung.
Salam dari Bandung Utara.
Makasih A udah ikut menyuarakan kejengkelan saya (dan, saya yakin, sebagian besar orang Bandung)
Angkot memang sudah jadi ratu jalanan (rajanya: motor) di Bandung.
Tetapi sesungguhnya mereka tidak salah. Yang salah itu kan kalau berhenti (ngetem, atau ngambil penumpang) tidak pada tempatnya. Karena tidak ada tempat dengan tanda “tempat menaikkan/menurunkan penumpang” jadi semua tempat boleh dianggap sebagai terminal/halte, gak salah kan? Atau salah?
Pertanyaannya, di mana sih kita (sebagai penumpang) harus naik/turun, atau mereka (sebagai pengemudi) harus berhenti? Cuma sedikit tempat yang mempunyai tanda “tempat menaikkan/menurunkan penumpang”, yaitu di beberapa tempat di jl Dago bawah, Dipati Ukur, Asia Afrika (dan ke panjangannya, Sudirman, A Yani), sampai ke Cileunyi (Ada tempat lain yang belum disebut?). Jadi harus di mana saya naik/turun angkot kalau mau ke Buah Batu dari Siliwangi, misalnya? Di Dipati Ukur? Kan angkotnya nggak lewat situ! Jalan dulu? jauh! gak ada trotoar!
Kenapa ya para pemimpin teh tidak memikirkan untuk membuat tanda tempat bagi para angkot untuk berhenti? sehingga kalau angkot hijau itu (yang difoto itu) mesti belok kanan di depan Taman Pahlawan, jangan ngetem di kiri jalan tepat sebelum mereka harus belok. Ngariweuhkeun.
Mungkin itu sebabnya kenapa angkot di jl Pahlawan itu jalan di jalur tengah, karena mereka harus belok kanan di ujung jalan. Kan susah kalau harus belok kanan dari jalur paling kiri (bukan jalur lambat kan?). Jadi mungkin baiknya, biarkan jalur tengah itu jadi jalur angkot, dan jalur samping jadi jalur mobil lainnya. Jadi mirip jalur Busway di Jakarta, gitu. Tapi tentunya harus dikasih jembatan atau lampu buat nyebrang calon/bekas penumpang.
Tapi ada satu lagi yang saya heran. Dulu mah sopir angkot yg sedang ngetem teh
langsung pergi kalau kelihatan ada polisi mau lewat. Sekarang…..mereka ngetem di depan pos polisi. Kenapa ya? Apa di depan pos polisi ada tanda “tempat ngetem dan menaikkan/menurunkan penumpang” yang saya nggak bisa lihat?
Terima kasih Yul.
Memang betul, kita tidak bisa menyalahkan angkot karena berhenti dimana saja, karena di Bandung ini tidak ada tempat berhenti angkot. Jadi sopir angkot dan penumpang sama-sama berhenti dan mencegat angkot seenaknya dimana saja.
Harusnya pemkot Bandung memasang tanda-tanda tempat berhenti angkot, minimal di ruas-ruas jalan utama yang sangat sensitif untuk terjadinya kemacetan.
Tapi, ya boro-boro bikin tempat atau sekedar tanda untuk tempat berhenti. Tempat yang adapun banyak yang tidak dipelihara dan dibiarkan menjadi fungsi lain. Tempat yang paling mudah dilihat adalah depan RS Boromeus. Disitu ada halte tempat bis kota berhenti. Ada tempat berteduhnya, juga lokasinya kalau tak salah agak menjorok ke dalam, sehingga tidak mengganggu lalu lintas. Nah silakan lihat, apa yang terjadi disitu? Lebih sering dipakai tempat ngetem taksi, juga tampat orang berjualan.
Contoh lain (kalau masih ada), di seberangnya, yaitu di depan SMU Negeri 1. Haltenya malah sudah biasa dipakai parkir para siswa (guru?).
Memang gemes melihat keadaan-keadaan seperti ini.
– Arry Akhmad Arman –