Memimpikan jalan Braga seperti ‘pedestrian area di Munich’

Banyak orang senang ke Paris van Java (PvJ) di jalan Sukajadi Bandung, walaupun harus bermacet-macet kesana, lalu bersusah payah mencari lokasi parkir. Menariknya, mereka tidak pernah kapok. Ada rasa kangen untuk datang lagi. Mengapa? Menurut saya bukan semata-mata karena ada toko A yang menjual barang favorit dia atau karena ada toko B yang selalu memajang produk baru yang sulit dicari di tempat lain atau karena ada toko C yang barangnya menarik harganya. Mungkin itu benar. Tapi tidak sedikit orang kesana hanya untuk berjalan-jalan, menikmati suasana yang lain. Begitu masuk kesana, memang terasa lain. Lupa dengan kota Bandung yang semakin semrawut, rasanya memang kita sedang berkunjung ke suatu dunia lain yang lebih baik dari Bandung yang sebenarnya. Persis seperti ketika kita masuk ke DUFAN (Dunia Fantasi) di Ancol, di dalam itu kita dibawa ke dalam suasana lain, dan sesaat lupa kepada tempat kita sehari-hari.

Apakah suasana seperti itu ada dalam suasana yang sesungguhnya? Ketika pertama kali berkunjung ke PvJ, saya langsung teringat Munich, salah satu kota terbesar di Jerman. Ada suatu area jalan kaki yang sangat lebar dan panjang. Kiri kanan toko dan tidak ada jalur mobil di tengahnya. Area jalan kaki ini terletak antara Karlsplatz dan Marienplatz. Kebetulan saya pernah dua kali berkesempatan mengunjungi Munich. Satu kali pada awal tahun 2005, pada saat musim dingin penuh salju dimana-mana. Kesempatan kedua pada tahun 2006 musim panas. Jadi sempat melihat area tersebut untuk dua kondisi yang berbeda. Ternyata di kedua musim yang ekstrim berbeda tersebut, area tersebut tetap menjadi kawasan yang ramai. Lihat dua foto di bawah ini.

munich01.jpg

Area jalan kaki di Munich pada saat musim panas 2006

munich02.jpg

Area jalan kaki di Munich pada saat musim dingin (awal 2005)

Suasana ini agak berbeda dengan kawasan jalan kaki lainnya yang terkenal di Eropa yang ditengahnya ada jalur mobil karena jalannya memang sangat lebar. Sebagai contoh di Paris ada kawasan jalan kaki yang terkenal, yaitu Champs Elysees yang ujung satunya adalah Arc de Triomphe, sedangkan ujung yang lainnya adalah Place de La Concorde yang kalau diteruskan akan menuju ke Piramid kaca di museum Louvre. Ini kawasan yang sangat panjang dengan trotoar yang sangat lebar di kiri kanannya. Saya kira jalan Braga tidak mungkin meniru kawasan Champs Elysees karena terlalu sempit. Kalaupun mau, mungkin Jalan Dago bisa, asal tidak ada parkir di setiap toko dan halaman parkir di semua toko dijadikan trotoar jalan kaki yang lebar. Terlalu rumit implementasinya!

Terus terang saya memimpikan jalan Braga kita disulap jadi seperti area jalan kaki Munich seperti foto di atas, mulai dari persimpangan J. Suniaraja sampai persimpangan Asia Afrika. Kita tutup jalur mobil di jalan Braga dan kembalikan ke suasana Eropa yang sesungguhnya, sehingga julukan Paris van Java menjadi pantas untuk disandang kota Bandung sepanjang masa, bukan sekedar masa lalu saja. Kalau kita bisa menyedot orang Jakarta setiap weekend ke Bandung, mengapa kita tidak mulai memikirkan untuk menyedot orang Singapura atau Malaysia ke Bandung setiap weekend?

braga.jpg

Suasana Jalan Braga, Bandung

Memang banyak hal yang akan menjadi kendala, seperti peningkatan jumlah kendaraan pendatang dan parkir. Saya kira kalau kita punya keinginan yang kuat, banyak alternatif solusi berani yang bisa kita tempuh, misalnya penataan angkot secara serius dan pelarangan parkir di tempat -tempat yang mengganggu. Deskripsi lengkap pemikiran solusi kemacetan weekend ini akan saya post pada tulisan lainnya.

Banyak perubahan yang dimulai dari ‘mimpi’. Nah, mudah-mudahan ini merupakan mimpi indah yang bisa kita pertimbangkan untuk dikaji kemungkinannya. Yang pasti, kalau tidak pernah bermimpi, sudah pasti tidak akan berubah.
Bagaimana menurut anda?

Salam
– Arry Akhmad Arman –

Iklan

Bandung BERMARTABAT ???

Mungkin sebagian besar orang Bandung tahu, bahwa slogan kota Bandung adalah “Bandung BERMARTABAT”, singkatan dari BESIH-MAKMUR-TAAT-BERSAHABAT. Saya mencoba mencari pemahaman slogan tersebut, khususnya makna TAAT disini adalah apa? Berdasarkan informasi yang saya baca dari situs resmi kota Bandung (www.bandung.go.id), disitu dijelaskan bahwa “Kota Bandung sebagai kota jasa harus memiliki warga yang taat terhadap agama, hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan untuk menjaga keamanan, kenyamanan dan ketertiban kota“.

bermartabat.jpg

Slogan “Bandung Bermartabat”
dan angkot tanpa plat nomor

Ada dua hal yang saya pikirkan mengenai taat ini:

1. Apakah warga Bandung adalah warga yang taat?
Rasanya terlalu banyak realita yang mudah terlihat oleh mata yang memperlihatkan ketidaktaatan warga Bandung sesuai dengan pengertian di atas. Masih banyak warga Bandung yang menunggu angkot tepat di tiang rambu S-Coret. Masih banyak warga Bandung yang parkir di rambu P-coret. Masih banyak orang yang mencari nafkah sampai tidak sempat shalat Jum’at. Masih banyak rumah berdiri tanpa IMB. Masih banyak kaki lima dimana-mana. Masih banyak  tawaran dari oknum-oknum untuk  mengubah hal yang tidak boleh menjadi boleh.

2. Sejauh mana pemerintah sudah melakukan berbagai hal untuk menjaga dan meningkatkan ketaatan di masyarakat?
Mungkin sudah banyak hal yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki hal tersebut yang tidak terlihat oleh kita semua. Tetapi, di lain pihak, masih terlalu banyak hal-hal yang sangat nyata di atas yang kelihatannya masih diabaikan.

Jadi, masih pantaskah slogan tersebut?

– Arry Akhmad Arman –

Tahukah anda, di kota-kota besar Cina tidak ada motor!

Tahun 2007 yang lalu saya mempunyai kesempatan untuk pergi ke Cina. Mengingat populernya istilah ‘mocin’ (baca: motor Cina) di Indonesia serta Cina sebagai negara berpenduduk terbesar di dunia, saya membayangkan betapa semrawutnya kota-kota Cina dengan motor cina. Ternyata, begitu tiba di Beijing, saya kaget; saya hampir tidak menemukan motor di jalan-jalan di kota Beijing. Ada satu dua, tapi hanya motor yang dirancang khusus untuk membawa barang (mirip motor untuk delivery McD atau Pizza Hut). Motor untuk transportasi manusia tidak ada sama sekali. Kalau sepeda, jangan ditanya, Beijing ramai dengan sepeda.

sepeda.jpg

Saya akhirnya tanya kepada guide yang menyertai kami. Ternyata memang sudah bertahun-tahun motor dilarang digunakan di kota-kota besar di Cina. Apa alasannya? Persis seperti di kita, motor terlalu banyak, dan perilaku pengendaranya sulit diatur. Persis seperti yang dikemukakan sdr Yulia dalam salah satu komentar di blog ini yang mengatakan bahwa angkot adalah ratu jalanan, dan motor adalah rajanya. Sepeda tetap diijinkan di kota-kota besar Cina, karena secara teknis tidak terlalu mengganggu seperti motor karena sepeda tidak bisa bergerak cepat. Lagi pula sepeda adalah salah satu budaya dan ciri khas Cina. Bahkan pengendara sepeda mendapat hak yang istimewa, hampir semua jalan sampai jalan di luar kota dilengkapi jalur khusus untuk sepeda. Saya mengunjungi 2 kota di Cina: Beijing dan Shenzhen. Di kedua kota tersebut motor dilarang.

Kembali lagi ke kota Bandung. Kalau melihat kredit motor sekarang sampai ditawarkan dengan sangat mudah, berarti pertumbuhan jumlah motor akan naik terus dengan drastis. Bahkan kalau shalat Jumat di Mesjid Salman, ada pasar kaget disana yang diantaranya ada yang menawarkan kredit motor. Motornya ada disitu dalam mobil pickup. Transaksi di tempat, pergi naik angkot pulang bisa naik motor kreditan.Luar biasa!

Bayangkan beberapa tahun lagi, jumlah motor mungkin 5 kali lipat dari sekarang? Apakah tidak tambah pusing?
So, bagaimana menurut anda??? Apakah kita perlu meniru Cina untuk melarang motor di kota Bandung?

– Arry Akhmad Arman –