Tadi siang saya berjalan menggunakan mobil dari arah Simpang Dago ke arah utara. Saya memerlukan waktu sekitar 20 menit untuk menjalani antrian kemacetan dari simpang sampai sekitar kantor BAPEDA. Biasanya jarak tersebut bisa ditempuh hanya sekitar 1-2 menit. Setelah itu, lalu lintas sangat lancar. Kemacetan tersebut adalah satu rutinitas di sekitar area tersebut pada jam tertentu. Mengapa? Ada satu sekolah yang cukup banyak penjemputnya yang menggunakan mobil pribadi. Semua mobil penjemput bertumpuk disana ingin mendapatkan parkir sedekat mungkin dengan sekolah. Alhasil, jadilah parkir dua baris menghabiskan lahan jalan, ditambah sebagian kendaraan yang sengaja berjalan sangat lambat untuk melirik ke tepi jalan, mencari tempat parkir yang masih tersisa. Belum lagi angkot yang sudah kita tahu betul perilakunya seperti apa.
Semakin dekat sumber kemacetan, mulai terlihat parkir dua lapis di kiri. Mobil Timor yang tampak di atas sedang parkir di lapisan kedua.
.
Ini hanya satu contoh saja. Saya kira, begitu banyak situasi seperti ini terjadi di kota Bandung. Seharusnya ini hal yang sudah bisa diprediksi dari awal. Pihak sekolah harusnya memikirkan konsekuensi itu, demikian juga pemerintah kota, harus memberikan syarat kecukupan tempat parkir ketika mengeluarkan ijin.
Saya tahu, sekolah berbeda dengan bisnis. Sekolah mempunyai tujuan mulia untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa ini. Tapi, apakah tujuan mulia tersebut harus dicapai dengan menyusahkan banyak orang?
Bagaimana menurut anda?
Malah saya pernah kesasar ke Dago Atas Pak, dan ternyata ujung jalnnya itu Singapore International School, dia tidak menyebabkan macet daerah sekitarnya walaupun para pengantarnya 1 siswa 1 mobil mewah, karena dia punya lahan parkir & jalan eksklusif sendiri menuju sekolahnya, tapi merusak daerah serapan air.
Jadi mending yang mana ya Pak, sekolah yang bikin macet atau sekolah yang merusak lingkungan?
Dago oh Dago..
Jadi kesimpulan Pa, sekolah sebaiknya dilokasikan dimana?
Terlalu jauh dan ‘nGampung’; kasian murid-muridnya, capek di jalan.
mungkin bukan soal lokasi ya, soal aturannya saja.
(misal, wajib ikut antar-jemput bus sekolah.. meski ini sptnya sulit :D)
Kaya Robin Hood dong? 🙂
Salam pak Arry,
Kalau menurut saya tujuan mulia, harusnya sebisa mungkin dicapai dengan proses yang mulia juga. Keduanya menyatu.
Pada kasus sekolah di jalan dago, kemungkinan besar pemilik/pengelolanya tidak mengantisipasi sedari awal kalau sekolah mereka akan ‘laku keras’.
Paling tidak ada dua kemungkinan; saat ini mereka sedang bingung juga dan mencari solusi mengatasi kemacetan di jam masuk/bubaran sekolahnya. Atau, mereka bangga karena keberadaannya membuat susah pemakai jalan dago.
Kalau kemungkinan terakhir yang terjadi, kita layak bersedih…
Nuhun.
Ping balik: Dari Try Out ke Try Out UASBN SD/MI « Ayi Purbasari