Tulisan ini saya buat setelah membaca blog Pak Rinaldi Munir tentang ‘Masuk ITB Pakai Orang Dalam’. Dari tulisan dan komentar-komentarnya disana terlihat bahwa ITB masih sangat menjaga betul pelaksanaan saringan masuk ke ITB. Bahkan disebutkan salah satu contoh nyata adalah putra Pak Wiranto yang kuliah di ITENAS, padahal pada waktu itu Pak Wiranto adalah rektor ITB. Hebat, menurut saya dan saya masih percaya betul hal ini masih terjaga hingga sekarang.
Ada hal lain (baca: budaya baik lain) yang menurut saya masih terpelihara di kampus Genesha, yaitu ‘dosen tidak terbiasa menerima sesuatu dari mahasiswa’, apalagi memintanya. Bahkan setelah luluspun, mahasiswa sering lupa secara khusus mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbingnya. Tapi hebatnya, dosennya pun tidak pernah menunggu sekedar ucapan terima kasih tadi. Semua berjalan biasa saja…., seperti anda lulus satu mata kuliah, tidak harus datang mengucapkan terima kasih kepada dosennya.
Bagaimana menurut anda? Apakah kampus lain seperti ini juga? Kalau ini terjadi di semua kampus, berarti saya tidak bisa bangga dong dengan ITB!
Pak Arry …
Saya melihat ITB adalah salah satu perguruan tinggi yang mutu lulusannya harus di acungi jempol …
Karyawan yang kami rekrut dari ITB … rata-rata mempunyai kecepatan karier yang sangat baik …
Dan … Jika saya sedang menTraining para fresh graduate atau para management trainee yang baru masuk perusahaan kami … hampir dipastikan bintang kelasnya itu dari ITB …
Bapak patut bangga dengan ITB itu pak …
Salam saya !!!
*mikir lamaaa…bingung mau komen apa, terlalu banyak.
temporarily, no comment…
Bangga juga saya…
Bila semua institusi menjaga nilai-nilai luhur itu…
Harapan saya, mudah-mudahan ITB tetap dengan citra bersih seperti itu Pak. Sebagai salah satu PT terbaik di tanah air saya bangga, meskipun saya bukan alumnusnya. Kapan ITB menduduki peringkat 20 terbaik dunia Pak? (Suatu harapan dan doa dalam mewujudkan dan menata teknologi negeri ini berasal dari sini).
senangnya mendengar masih ada instansi yang “bersih” dari kkn…
semoga budaya baik dari ITB bisa disebarkan ke universitas-universitas negeri lainnya…
hidup ITB!!!!
meskipun saya lulusan negeri (swasta), bukan lulusan ITB, saya mendoakan semoga ITB menjadi instansi yang bersih dari KKN dan alumninya gak hanya jadi “bintang” tapi juga bisa jadi teladan baik dari segi karier, akademik dan yang tidak kala penting adalah dalam hal MORAL.
salam
pramudyaputrautama.wordpress.com
Pak, disiini tanggapan saya
http://catra.wordpress.com/2008/03/30/aku-malu-jadi-mahasiswa-itb/
saya masih kul di malang, tapi nama itb sepertinyaa bisa menjadi contoh bagi uneversitas2 yng lain di indonesia. semakin berkarya bertambah berkualitas..tul kan.
terima kasih
😀salamhangat
Kalo soal citra bahwa dosen ITB tidak menerima “buah tangan” dari mahasiswa saya akui pak. Salut. Beberapa yang saya kenal malah dimodalin untuk bisa nerusin riset nya S1, ato S3 (pengalaman melihat sendiri). Mungkin karena dosen-dosennya udah pada pinter mroyek 😀
Tapi ada beberapa yang saya komplain dari ITB.
1. Arogan sekali — debatable. Tapi overall lulusan ITB begitu.
2. Kegedean topi. Nah in penyakit yang paling parah. = Arogan?
3. Sekolah di kampus ini sekarang ga murah lagi. Dahulu masih bisa beriring antara si kaya dan si miskin untuk bisa sama-sama mengeyam pendidikan disini.
Buat Para Dosen yang sudah memilih jalan hidup untuk bisa mengabdi mencerdaskan bangsa ini, mau ITB mau bukan, saya ucapkan hormat saya. Terima kasih Pak, tanpa itu Indonesia bukan apa-apa (apalagi pendidikan dasar seperti guru yang mengajarkan kita membaca tulis).
Tapi semoga Para Dosen ITB bisa mengurangi kegiatan mroyeknya dan komit dengan pilihan ingin mendarmabhaktikan diri bagi masyarakat. Jangan untuk cuma nyari shortcut jadi pejabat 😀
Buat semua yang menyatakan komentar positif dan simpatik, he-he-he…., saya jadi ngeri…., karena menurut saya tidak sehebat yang bapak ibu bayangkan…..
Buat bung Adinoto, thanks komentar positifnya yang berkaitan tidak menerima buah tangan. Soal arogan, kegedean topi, dan tidak murah, saya tidak ingin membantahnya….
Soal, jadi pejabat, saya kira tidak banyak dosen ITB yang jadi pejabat dibandingkan dengan jumlah dosen ITB seluruhnya.
salam.
ITB gudangnya pakar IT hehehe. Gw jadi pengen kuliah disana.
Wah pak Arry ini dosen di 132xxxxx ya 🙂
saya dulu kuliah di 131xxxxx Pak ~ salam kenal.
Sekarang saya ngajar di 134XXXXX ~ di PTN sebelah.
# Pak Adinoto,
Dosen bekerjasama dengan industri menurut saya adalah bagian dari tugasnya. Tentu semuanya ada takarannya. Saya bahas di sini:
http://budihartono.wordpress.com/2007/11/24/ingin-menjadi-dosen-fakta-mitos/
b oe d
saya sependapat dengan kelinci madu,cuma ada tambahan sedikit ,kiranya ITB pengembangan teknologi harus sesuai sasaran , terutama untuk masyarakat yang sangat membutuhkan tekno tersebut, terutama buat pertanian,,,,,,,,terimakasih.
Biasa saja, di ITB itu kalo dosen nggak bisa cari sampingan di luaran biasanya cari korban di dalam. Kalo proporsi yang ngerjain mahasiswanya makin banyak, yaaa masuk ITB harus pake orang dalam, jadi wajar saja. Atau bentuk KKN atau penganiayaan yang lain. Sebaiknya jangan terlalu bangga dengan ITB. ITB bisa jadi berubah bentuk, atribut dan sifat. Tapi pak Dosen Arry Akhmad Arman harus tetap pada prinsip. Oke.
Sebuah universitas yang banyak menerima mahasiswa pintar dan berbakat … sudah sewajarnya menggunakan metoda pendidikan dan pengajaran yang berbeda.
Orang pintar tidak bisa diajari dgn cara konvensional. Dosennya datang di kelas, mengajar dari textbook, kasih tugas, ujian, beres. Tidak akan tercipta lulusan yang top, walaupun bibitnya unggul.
Perubahan harus dilakukan pada metodologi mengajar. Silahkan baca2 buku psikologi, bagaimana mendidik anak2 berbakat.
Nah, apakah para dosen ITB ini sudah sadar bagaimana cara mendidik anak2 pintar Indonesia???
“…………dosen tidak terbiasa menerima sesuatu dari mahasiswa………….. ” Di UGM juga seperti itu pak
Bapak kan menulis dari perspektif internal karena bapak adalah dosen disana. berbeda halnya bila yang menulis adalah independen.
Dalam pergaulan sehari-hari baik itu di dunia kerja, teman-teman kampus, birokrat, dll yang pernah saya ngobrol. Hal itu sudah menjadi rahasia umum pak.
Bukan hanya Pejabat Publik yang dengan gampangnya menitipkan anaknya di ITB, Bahkan sekedar pejabat eselon I / II gampang kok nitip. Apalagi yang dari kalangan alumni dan militer. (maaf tidak menyebut merek).
keknya sih di semua universitas jarang banget ada dosen yang “terbiasa menerima sesuatu dari mahasiswa”.
wibawa dosen di Indonesia masih tinggi kok, pak. paling tidak di mata kami, para mahasiswa. [mhs UGM]
kalau memang demikian, apakah layak sistem pendidikan di indonesia yang beralasan untuk mencerdaskan bangsa itu patut di argai sebagai sistem?
orang yang terlalu sok(kelebihan harta) dapat seenaknya kelar masuk Universitanya atau ptn dengan sekehendaknya, setdangkan orang yang ;jauh berkecukupan hanyalah mampu tuk bermimpi mengenyam pendidikan!
betapa malunya kita sebagai bangsa yang selalu menjungjung tinggi tujuan itu!
hmm kayaknya fenomena tersebut gak bakal bisa ilang dengan cepat,,, dan kelihatannya makin nambah aja…
gak hanya di ITB doang om,,, tapi hampir semua universitas negeri dan pokoknya yang berhubungan dengan pemerintahan… seperti masuk angkatan bersenjata, PNS, dll….
Hmm.. saya sependapat dengan Pak Arry, saya tidak atau belum pernah mendengar kalo ada anak pejabat bisa masuk ITB dengan cara menitipkan. Anak dosen ITB pun tidak bisa masuk ITB dengan pakai jatah ataupun hal lainnya, saya dengar sendiri dari ayah saya. Teman ayah saya yang juga Alumni ITB dan juga pejabat pemerintahan eselon I tidak berhasil memasukkan anaknya pakai sistem jatah atau apapun itu namanya. Saya dan adik-adik saya pun untuk masuk ITB harus bercucuran keringat dan belajar keras, karena tidak ada itu jatah untuk anak alumni dan juga untuk anak pejabat.
Semoga ITB tetap dapat menjaga reputasinya dan tetap selalu berbenah.
saya setuju sekali dengan tanggapan ini pak. dan saya kurang dengan pendapat bapak harry
sebab anak rektor sendiri (pak wiranto) tidak bisa kuliah di ITB, malah kuliah di salah satu PTS di bandung.
maaf ya pak saya jadi mengomentari komentar yang harusnya bapak yang komentar, ga lega kalau ga ngomong,maaf.
Pernah liat ga dosen membimbing mahasiswanya sampe larut malam (jam 11 PM)? Dan semua itu tidak ada kaitannya dengan duit ato pemberian.
Itu sering terjadi di kampus saya. Dosen bisa dihubungi dengan sangat mudah dan tanpa embel-embel
Satu lagi Pak Arry, kita bisa panggil kolega dan senior kita yg profesor dengan nuansa egaliter cukup “Pak” atau “Bu”. Di beberapa jurusan tertentu malah budaya manggil ‘mas’ atau ‘mbak’ pada senior-nya tetap melekat berapapun jauh perbedaan umur mereka …
“…………dosen tidak terbiasa menerima sesuatu dari mahasiswa………….. ”
Nambah lagi..di UNDIP juga begitu Pak..
semoga saja PT-PT yang lain begini juga..
Menanggapi berbagai pendapat, saya kira saya ingin menyampaikan beberapa hal berikut.
1. Saya masih percaya bahwa cara penerimaan mahasiswa baru di ITB masih bersih dari berbagai kenakalan. Jika, tanpa sepengetahuan saya, ada hal-hal yang tidak seperti yang saya yakini, mudah-mudahan itu hanya satu titik kecil yang dilakukan oknum yang picik di tengah kepercayaan yang masih tinggi.
2. Untuk penerimaan dengan cara khusus, ITB menerapkan mekanisme testing yang menurut saya jauh lebih ketat dari pada seleksi nasional. Di seleksi nasional, hanya dibedakan, IPA, IPS…, sehingga tak ada bedanya tes untuk kedokteran dan informatika, misalnya. Tes ITB lebih disesuaikan dengan karakter yang diinginkan ITB.
3. Tidak tertutup kemungkinan ITB memprioritaskan calon yang memberikan sumbangan lebih besar dalam tes masuk khusus, jika dan hanya jika, ada calon yang nilainya ujian masuknya sama. Saya sangat percaya, tidak ada suatu akal-akalan untuk memaksakan calon mahasiswa yang tidak memenuhi syarat untuk masuk ITB, atau menggeser calon yang nilainya lebih baik. Banyak mahasiswa di jalur khusus bisa masuk tanpa sumbangan tambahan, mengalahkan calon mahasiswa lain yang menjanjikan sumbangan yang menggiurkan untuk ITB.
4. Misal saja, tetap ada yang nakal, menyelundupkan mahasiswa yang tidak lulus tes ke ITB, mereka akan gugur dengan sendirinya, Setelah masuk, dosen tidak tahu, mana yang masuk dengan cara apa, mana yang nyumbang 1 milyar, dan sebagainya. Jadi bisa saja nyumbang 10 milyar, lalu DO dari ITB.
Insya Allah yang saya sampaikan adalah apa adanya, bukan pembelaan saya sebagai dosen ITB. Saya pun banyak melihat hal yang tidak bisa saya banggakan di kampus ini, tapi yang saya sampaikan di atas, Insya Allah masih terjaga dan masih saya banggakan.
Jujur saja, saking percayanya saya dengan hal itu semua, saya khawatir 3 tahun lagi anak saya tidak bisa kuliah di ITB kalau tidak beruntung.
Salam.
Arry Akhmad Arman
Pak Arry, saya nulis anonim untuk nama, untuk mencegah hal – hal yang mungkin kurang berkenanm karena ada kemungkinan ada unsur termasuk rahasia negara. Meski sebetulnya karena waktu itu tidak ada sumpah jabatan untuk ini.
saya kurang tahu kondisi internal seleksi mahasiswa baru ITB jalur S1, apalagi sekarang, tapi dulu sekali saya pernah terlibat untuk jalur D3.
Pengalaman saya demikian waktu itu:
1. Seleksi menggunakan komputer dan jujur (yakin karena saya ikut memprogramnya 🙂
2. Kriteria yang dipakai dalam komputer selain nilai, juga memperhitungkan orang yang pernah di-DO. Yang di-DO tidak boleh masuk lagi.
3. Selain itu juga memperhitungkan ras, meski ini faktor terakhir. Jadi kalau ada nilai sama, “pribumi” didahulukan.
4. Setelah seleksi oleh komputer selesai, peringkat hasil seleksi dicetak beserta “cadangan”-nya (jadi seingat saya 200% dari yang diterima) untuk dirapatkan bersama petinggi institut untuk disahkan. Dalam rapat ini, salah satu yang dibahas satu persatu adalah Surat Sakti dari berbagai kalangan. Surat sakti tidak selalu dikabulkan, tergantung situasi.
4.a. Yang sudah diterima sesuai kapasitas tidak diganggu gugat.
4.b. Yang diterima karena surat sakti bersifat tambahan, maksimum sekitar 10% kalau tidak salah.
4.c. Nilai tetap diperhatikan, seingat saya kalau tidak ada dalam daftar cadangan, tidak dikabulkan. Beda nilai antara peringkat terakhir di daftar tetap dan peringkat terakhir di daftar cadangan sebetulnya kurang bermakna, cuma 0,x. Jadi sebetulnya mutu yang masuk lewat jalur ini tetap bagus.
5. Pulang dari rapat, kami merevisi daftar yang diterima sesuai keputusan rapat tersebut.
6. Pada pengumuman, calon yang diterima diurut menurut nama, sehingga tidak ketahuan siapa yang masuk lewat jalur surat sakti.
7. Saya dikarantina selama proses sampai pengumuman, jadi makan, tidur, dan mandi di data center. Selama proses cukup banyak karyawan institut yang berusaha mendekati, tentu untuk mempengaruhi atau setidaknya mencari bocoran meski Alhamdulillah tidak berhasil.
Ada pengalaman lucu waktu itu. Sebut saya X. Sebetulnya X sudah diterima di jurusan A, namun surat sakti meminta X diterima di jurusan B. Karena kebetulan X ada di peringkat cadangan, surat sakti dikabulkan. Nah, atasan saya sempat bingung ketika saya sampaikan bahwa X sudah diterima di jurusan A. Akhirnya, X kami masukkan sebagai calon yang diterima di jurusan A maupun jurusan B 🙂
Saya yakin situasi di atas sudah berubah menjadi lebih baik.
Selain itu, saya juga sedikit banyak pernah terlibat di pengolahan data SPMB / UMPT pusat.
Hal yang jarang diketahui oleh orang luar berkaitan dengan otomasi seleksi antara lain:
1. Dalam scanning, ada kemungkinan kertas gagal melewati scanner. Dalam kondisi seperti itu, kertas akan di-data entry secara manual oleh petugas khusus.
2. Setelah scanning, ada kemungkinan data yang terbaca tidak sesuai (misal karena bulatannya melebar ke kolom atau baris lain, atau bekas hapusan kurang bersih). Kalau formulir pendaftaran, data akan diperbaiki. Kalau lembar jawaban, tidak ada perbaikan.
3. Ada program khusus untuk mendeteksi kecurangan (joki) melalui metode tertentu.
kalau lulusan dari sbm itb gimana pak? hehehehe.maklum saya anak mba itb
mungkin ada beberapa pihak yang masih meragukan bagaimana itb menjaring mhsiswanya, saya sendiri sewaktu tes masuk dulu terkejut sekali, susahnya luar biasa untuk pengisian formulir dan kelengkapan, mesti ekstra hati2.
pun setelah ujian, sangat tertutup, kita diberi sebuah buku soal, yang di segel, setelah disegel ternyata tiap bagian buku tsb juga disegel, sejak saat itu saya sudah merasa disini memang harus bersih. Dan kenyataan selanjutnya, lebih dari itu semakin meningkat saja keketatannya. T.T
Masalah menitipkan atau main uang itu, saya sebenarnya tertawa mendengarnya, okelah mereka anak pejabat, atau bahkan menyumbang 10 miliar, seperti komentar sebelumnya, tapi percuma, karena disini itb, menilai berdasarkan kemampuan, anda tidak mampu ya DO, tidak peduli siapapun anda. sama saja, ujung2nya kualitasnya baik