Apa yang bisa saya banggakan dari ITB?

Tulisan ini saya buat setelah membaca blog Pak Rinaldi Munir tentang ‘Masuk ITB Pakai Orang Dalam’. Dari tulisan dan komentar-komentarnya disana terlihat bahwa ITB masih sangat menjaga betul pelaksanaan saringan masuk ke ITB. Bahkan disebutkan salah satu contoh nyata adalah putra Pak Wiranto yang kuliah di ITENAS, padahal pada waktu itu Pak Wiranto adalah rektor ITB. Hebat, menurut saya dan saya masih percaya betul hal ini masih terjaga hingga sekarang.

Ada hal lain (baca: budaya baik lain) yang menurut saya masih terpelihara di kampus Genesha, yaitu ‘dosen tidak terbiasa menerima sesuatu dari mahasiswa’, apalagi memintanya. Bahkan setelah luluspun, mahasiswa sering lupa secara khusus mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbingnya. Tapi hebatnya, dosennya pun tidak pernah menunggu sekedar ucapan terima kasih tadi. Semua berjalan biasa saja…., seperti anda lulus satu mata kuliah, tidak harus datang mengucapkan terima kasih kepada dosennya.

Bagaimana menurut anda? Apakah kampus lain seperti ini juga? Kalau ini terjadi di semua kampus, berarti saya tidak bisa bangga dong dengan ITB!

Iklan

Nemu tiga lagi dosen ITB yang nge-Blog

Tiga lagi dosen ITB yang saya temukan nge-Blog:

  1. Pak Waskita, banyak tulisan sebelumnya yang disajikan di web pribadi, dan baru start-up di WordPress.
  2. Pak Soni (Kusprasapta) yang hobby ngutak-ngutik robot. Masih belum rajin tampaknya. Semoga segera tambah rajin berbagi ilmu robotnya!
  3. Pak Bambang Setiabudi (Arsitek), dengan blog spesifik tentang Arsitektur Mesjid. Melihat tanggal postingnya, Pak Bambang sudah mulai sejak akhir 2005. Saya temukan link-nya dari blog Pak Waskita.

Internet ITB, menyedihkan….

koneksi-internet-itb.jpg

Inilah contoh dua laptop dosen ITB yang dipasangi card 3G/HSDPA untuk mendapatkan koneksi Internet yang normal. Foto ini saya ambil sekitar seminggu yang lalu di dalam kampus. Salah satunya laptop saya, yang lainnya laptop rekan dosen yang lain. Jaringan kampus ITB sudah tidak bisa diandalkan lagi untuk mendukung pekerjaan. Mau attach file via email saja setengah mati. Browsing, setengah mati lambatnya, dan tidak efektif! Buang waktu tunggu! Akhirnya, seperti inilah solusinya!

Memang sering ada argumen: Sudah gratis atau murah, ingin kenceng! Nah lho, memang tuntutannya seperti itu. Sebetulnya tidak menuntut yang higspeed, tapi yang normal saja deh! Tinggal hitung, perlu dana berapa supaya Internet bisa cepat? ITB punya uang atau tidak? Kalo kurang, kembalikan kepada user. Saya kira banyak dosen yang tidak keberatan bayar Rp 50 ribu – Rp 100 ribu untuk layanan Internet yang cepat (baca: normal) di dalam kampus. Mahasiswa pun sudah mulai kurang betah di kampus, mereka lebih senang sharing Internet unlimited di tempat kost atau di nongkrong di warnet.

Sampai kapan ya akan begini? Sementara sekolah-sekolah sampai SD mulai punya koneksi Internet, Internet ITB dari dulu tidak ada kemajuan yang berarti.

Menurut saya ada dua solusi:

  1. Kalo ITB ngga punya uang, bebankan ke user! Biarkan user pilih. Mau cepat, bayar sekian! Mau murah, ya harus terima Internet yang lambat. Tapi yang penting ada pilihan.
  2. Cara lebih mudah, undang pihak swasta buka hotspot berbayar di dalam kampus! Solusi ini jauh lebih mudah, bahkan ITB bisa mendapat fee dari penggunaan hotspot tersebut!

Bagaimana menurut anda?