Ketika tahun 2000 saya tinggal beberapa bulan di suatu kota kecil di Belgia (kota Mons), kebetulan saya diajak berkendaraan oleh orang Belgia ke suatu tempat di kota. Sangat sulit mencari parkir karena lokasi parkir sangat dibatasi disana untuk tujuan menjaga kelancaran lalu lintas. AKhirnya setelah beberapa kali muter-muter, menemukan satu tempat parkir yang kosong. Mobil segera masuk ke tempat kosong tersebut, lalu dia mengambil struk parkir dari mesin parkir yang ada di dekat mobil yang di parkir. TIDAK ADA TUKANG PARKIR sama sekali.
Lalu dia bercerita setengah mengeluh kepada saya. Ya…, seperti inilah kota kami, parkir susah sekali dan bayarnya mahal.
Dia bertanya kepada saya, “bagaimana dengan kota anda?”
Lalu saya jelaskan “In my city, you can park your car anywhere, and no parking machine…”
Dia menunjukan wajah kaget! Kalau saya menebak, dia berpikiran bahwa kota saya adalah kota yang lebih hebat, luas jalan-jalannya, sehingga parkir sangat mudah. Dia juga mungkin menduga, kota saya lebih makmur, sehingga tidak perlu lagi memungut biaya parkir dari warganya…..
Untuk meyakinkan, dia bertanya: “Is it free?”
Saya teruskan: “…., but there is parkingman anywhere, and you should pay your parking fee to him“
Ya, itulah gambaran tipikal kota-kota di Indonesia. Perlukan kita gantikan parkingman dengan parking machine? Karena ini mungkin sumber korupsi yang sulit di audit! Atau ada cara kompromi yang lebih baik?
Bagaimana menurut anda?